VINAYA PITAKA
PARAJIKA DAN SANGHADISESA
A. PARAJIKA
Peraturan-peraturan disiplin yang pertama diberikan oleh Sang Buddha adalah mulapannatti (peraturan akar), sedangkan yang ditambahkan kemudian disebut anupannatti. Bersama-sama, keduanya disebut sikkhapada, atau peraturan disiplin. Tindakan pelanggaran peraturan, yang menimbulkan sanksi bagi bikkhu yang bersalah disebut apatti, yang berarti ‘mencapai, melakukan’.
Pelanggara-pelanggaran yang menimbulkan sanksi dapat dikelompokkan menjadi 7 kategori, tergantung pada sifatnya :
1) Parajika
2) Sanghadisesa
3) Thullaccaya
4) Pacittiya
5) Patidesaniya
6) Dukkata
7) Dubbhasita
Parajika yaitu pelanggaran yang serius (garukapatti) yang tidak dapat diperbaiki (atekiccha), dan menyebabkan pelanggarnya dikeluarkan dari kebhikkhuan. Sanghadisesa, juga dianggap pelanggaran yang serius teetapi dapat diperbaiki (satekiccha),sebagai sanksinya pelanggar diberi masa percobaan, dan selama itu dia harus menjalani praktek-praktek yang sulit.setelah itu direhabilitasi oleh persamuhan sengha.
Lima pelanggaran lainnya terdiri dari pelanggaran-pelanggaran ringan (lahukapatti) yang dapat diperbaiki, sebagai sanksinya, dia harus mengakui pelanggaran itu kepasa bhikkhu lain. Setelah menjalankan sanksi yang dijatuhkan, bhikkhu pelanggar itu pun terbatas dari pelanggaran.
Setelah 20 tahun Sangha yang terdiri dari para Ariya terbentuk, motif-motif yang tidak diinginkan, yang tidak memiliki motif murni dan hanya menginginkan kemashyuran dan keuntungan-keuntungan menjadi bhikkhu, maka dirasakan perlunya menetapkan peraturan-peraturan yang menangani pelanggaran-pelanggaran serius. Parajika pertamadiumumkan karena bhikkhu sudinna, yang berasal dari Desa kalanda dekat Vesali, melakukan pelanggaran karena mengadakan hubungan seksual dengan mantan istrinya. Peraturan ini diberikan untuk mencegah agar para bhikkhu menuruti nafsu dalam hubungan seksual.
Dalam sila Patimokkha, parajika merupakan nama dari empat sikkhapada yang apabila dilanggar, diketahui atau tidak diketahui oleh orang lain, maka ia telah gagal dalam kebhikkhuannya. Dalam vinaya pitaka III dijelaskan ada empat sikkhapada yang disebut parajika yaitu :
1. Apabila seorang bhikkhu telah menerima peraturan latihan serta cara hidup kebhikkhuan dan tidak menyatakan ketidaksanggupan untuk menjalankannya, melakukan hubungan kelamin sekalipun dengan binatang betina, maka bhikkhu itu terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam Sangha.
(siapa pun bhikkhu yang melakukan hubungan seksual, kehilangan kebhikkhuannya)
Penjelasan
Bhikkhu yang tidak mampu lagi menjalankan Brahmacariya, tetapi tetap dalam kebhikkhuan dan melakukan hubungan kelamin, maka ia telah terkalahkan dan melakukan pelanggaran yang disebut parajika dan tidak dapat dikatakan melakukan apatti yaitu:
a) Gila, tidak memiliki kesadaran dan pengendalian pikiran
b) Ngelindur, tidak menyadari dirinya
c) Menderita kesakitan yang amat sangat
d) Yang pertama kali melakukan perbuatan buruk yang menyebabkan Sang Buddha memberikan peraturan.
2. Apabila seorang bhikkhu dengan maksud untuk mencari, mengambil apa yang tidak diberikan dari daerah yang berpenduduk atau dari hutan, sedemikian rupa sehingga akan menyebabkan raja akan menangkap atau menghukum, memenjarakan atau membuang, dengan kata-kata :’ kamu perampok, kamu bodoh, kamu pencuri, maka bhikkhu itu telah terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam sangha.
(siapa pun bhikkhu yang dengan niat mengambil (mencuri) apa yang tidak diberikan, kehilangan kebhikkhuannya)
Penjelasan
Dalam Vibhanga disebutkan berbagai jenis barang berharga dan dibagi atas kelompok barang bergerak (samharima) dan barang tidak bergerak (asamharima).
Barang bergerak adalah berbagai hewan ternak, seperti : sapi, kerbau, kambing, ayam, dan hewan peliharaan lainnya yang berjiwa (savinnanaka). Barang bergerak lainnya adalah benda, material yang tidak melekat dan dapat dipindahkan seperti emas, perak, pakaian, dan keperluan hidup lainnya.Barang barang tidak bergerak adalah tanah, rumah, dan pohon-pohon. Barang berharga tersebut disimpan dan dirawat oleh seorang petugas,milik sangha atau vihara yang belum diberikan kepada bhikkhu oleh pemiliknya sendiri atau orang yang diberi kuasa, maka semuanya disebut yang tidak diberikan (adinna).
Ungkapan ‘daerah yang berpenduduk atau hutan’ merajuk pada pengertian bahwa benda itu masih milik seseorang. Misalnya emas yang tercecer, kayu yang ditebang dihutan yang belum diambil oleh si penebang.Mengambil barang berharga dengan niat mencuri dikelompokkan menurut cara barang itu diambil sebagai berikut :
a) Barang bergerak yang memiliki basis yang berada diatas tanah, yang tertanam dalam tanah, berada dipermukaan tanah, tergantung di udara, terletak di atas barang lain seperti meja atau kursi, disimpan dalam benda bergerak seperti kendaraan darat atau perahu. Basis adalah area tempat barang itu berada, misal sebuah kotak terletak di atas meja. Maka batas lantai yang kontak dengan kotak adalah basis dari kotak tersebut.
Seorang bhikkhu yang mengambil barang berharga dengan niat mencuri dan setelah barang itu terangkat dari basisnya, maka saat itu parajika telah terjadi.
b) Barang berharga yang dibawa oleh orang maka basisnya adalah badannya, seperti bahu, kepala, pinggang atau dipegang dalam tangan. Seorang bhikkhu menyambar barang itu dengan niat mencuri, maka saat barang itu terpisah dari badan si pembawa telah terjadi parajika.
c) Binatang peliharaan atau ternak, kaki mereka merupakan basisnya. Bila seorang bhikkhu menghalau atau menyeret binatang itu dengan niat mencuri dan apabila keempat kakinya terangkat atau berpindah tempat, maka parajika telah terjadi.
d) Seorang bhikkhu dengan niat mencuri, menyambar barang yang jatuh dari kendaraan, maka parajika telah terjadi saat dia mengambilnya.
e) Sewaktu diadakan distribusi, seorang bhikkhu dengan niat mencuri menukar kartu distribusi dengan bhikkhu yang lain agar mendapat barang yang harusnya diterima oleh bhikkhu lainnya. Apabila kartu distribusi itu telah ditukar, maka pada saat itu parajika telah terjadi. Menukar barang yang asli dengan yang palsu pun merupakan parajika.
Pencurian barang tidak bergerak terjadi bila pemilik barang yang tidak bergerak itu melepaskan gugatannya., maka pada saat itu bhikkhu tersebut telah melakukan tindak parajika. Misalnya, seorang bhikkhu tanpa dasar kebenaran memajukan tuntutan untuk memiliki tanah orang lain. Karena pemilik tanah itu bukan orang kuat dan tidak berdaya, maka ia melepaskan haknya atas tanah itu. Pada saat pemilik yang sesungguhnya melepaskan haknya, maka bhikkhu tersebut telah melakukan tindak parajika.
Seorang bhikkhu memindahkan batas tanah, menuntut tanah orang lain, maka apatti telah terjadi pada saat ia dengan sempurna memancangkan batas tanah. Jika seorang bhikkhu secara langsung memindah benda yang terpaku ditanah, seperti menebang pohon atau memindahkan rumah, setelah pemindahan itu telah sempurna dilakukan, maka apatti telah terjadi. Kasus ini sama seperti mencuri bneda yang bergerak.
Seorang bhikkhu yang dipercayakan untuk menyimpan suatu milik orang lain. Kemudain karena itikad untuk mengambilnya, ia menyangkal telah menerima benda tersebut, atau mengatakan bahwa ia telah mengembalikannya. Bhikkhu itu telah melakukan parajika pada saat pemilik melepaskan haknya atas benda itu.
Seorang bhikkhu membawa barang yang dikenakan pajak bila melewati perbatasan. Kemudian sewaktu melewati perbatasan, ia menyembunyikan sebagian barang yang harus dikenakan pajak. Maka, apatti telah terjadi pada saat bhikkhu itu melewati perbatasan dekat tempat bea cukai. Di dalam Vinitavatthu disebutkan seorang bhikkhu yang melewati perbatasan dan seseorang menyembunyikan sesuatu barang yang harus dikenakan pajak didalam buntelan barang bhikkhu tanpa diketahuinya, maka hal itu bukan apatti.
Seorang dengan niat mencuri, tetapi menyuruh orang lain untuk mengambilnya. Maka apatti telah terjadi pada bhikkhu yang menyuruh tadi setelah orang yang disuruh selesai mengambil barang yang dikehendaki. Menyuruh itu dapat dilakukan dengan isyarat seperti mengedipkan mata, menganggukkan kepala dan lain-lain. Kedua orang itu, yang menyuruh dan yang disuruh, mrlakukan apatti pada saat selesai mengambil benda yang dikehendaki.
3. Apabila seorang bhikkhu dengan sengaja membunuh seseorang atau memberikannya senjata tajam untuk membunuh diri atau menyatakan bahwa kematian lebig baik atau menganjurkan bunuh diri, dengan berkata: saudara, apa gunanya hidup yang susah ini bagi kamu? Kematian lebih baik bagimu daripada”, maka bhikkhu itu telah terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam sangha.
(siapa pun bhikkhu yang dengan niat menyebabkan kematian manusia, kehilangan kebhikkhuannya)
Penjelasan
Yang dimaksudkan dengan manusia adalah yang terbentuk dalam rahim ibu setelah terbentuknya jasmani sampai meninggal dubia. Membununh manusia adalah memutuskan kelangsungan hidup dalam satu kelahiran yang dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut:
a) Membunuh dengan kontak langsung; memacubg dengan pedang atau dengan alat-alat lain, menusuk dengan tombak atau pisau, atau memukul dengan gada atau tongkat.
b) Membunuh dari jauh; menembak dengan panah atau senjata api, lemparan tombak atau pisau,batu dan benda-benda lain.
c) Alat perlengkapan untuk pembunuhan; berbagai perangkap yang dilengkapi dengan alat-alat yang tajam. Yang beracun atau benda-benda berat yang dapat menyebabkan kematian.
d) Membunuh dengan menggunakan mantra (santet), dalam kita atthakatha diberikan beberapa contoh, antara lain; seorang memanjatkan mantra untuk memanggil mahkluk halus dan kemudian menyuruh mereka membuat orang lain sakit dan meninggal.
e) Membunuh dengan kekuatan batin (iddhi); dalam kitab atthakatha disebutkan beberapa contoh , antara lain; seorang bhikkhu yang telah mengembangkan kekuatan dalam dirinya dan dengan memandang orang lain atau dengan pikirannnya memukul orang sehingga orang itu menemui ajalnya.
Cara membunuh yang kelima berbeda dengan cara ketiga dan keempat, karena metode yang digunakan tidak terpaku pada suatu tempat yang tetap seperti cara ketiga dan tidak dikembangkan dengan kekuatan batin seperti cara keempat, tetapi oleh kekuatan yang ada dalam manusia itu secara alamiah.
Seorang bhikkhu tidak membunuh dengan tangannya sendiri, tetapi meyuruh orang lain untuk membunuh, maka perbuatan ini juga membunuh seseorang, yang disebut dengan ‘kesalahan karena menyuruh orang lain’ (sanattika). Selanjutnya, seorang bhikkhu membawa senjata atau benda lainnya dan menyerahkan atau meletakkan didekat orang yang akan dibunuhnya dan kemudian memaksa orang tersebut untuk bunuh diri, seperti dalam cerita Cina kuno.
4. Apabila seorang bhikkhu yang tidak mempunyai kemamapuan apa-apa menyatakan dirinya bahwa (beberapa) kemampuan yang mengatasi manusia dan pengalaman manusia (uttarimanussadhamma) terdapat dalam dirinya (attupanayikam) mengatakan : ‘saya tahu ini, saya lihat itu’ dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa maupun tidak, ternyata tidak benar dan ingin membersihkan diri, lalu berkata :” teman, tidak tahu saya katakan ‘saya tahu’, ‘tidak melihat,saya katakan saya melihat’; apa yang saya katakan adalah berlebihan dan salah”, maka kecuali hal itu karena salah perkiraan, maka bhikkhu itu telah terkalahkan dan tidak boleh lagi berada dalam sangha.
(siapa pun bhikkhu yang menyatakan pencapaian, yang sebenarnya tidak dia miliki, yaitu pencapaian jhana atau kebijaksanaan
Penjelasan
Manusia yang melatih samadhi, pada suatu waktu akan mencapai jhana pertama dan akhirnya jhana keempat. Keempat jhana tersebut termasuk sebagai uttarimanussadhamma yang berarti “mengatasi manusia dan pengalaman manusia”. Selanjutnya setelah melatih dirinya lebih lanjut dalam Dhamma dan mencapai sotapanna maga dan phala, sakadagami dan phala, anagami maga dan phala, arahat maga dan phala dan nibbana. Kesembilan kesucian itu disebut lokuttaradhamma. Hana dan lokuttaradhamma adalah sasaran dari uttarimanussadhamma yang penjabarannya terdapat Kita Vibhanga.
Terdapat dalam dirinya (attupanayikam) disyaratkan :
a) Dengan sombong berkata : ‘ saya telah mencapai dhamma yang demikian, dalam waktu yang demikian’. Apabila perkataan bhikkhi itu dimengerti oleh seseorang yang mendengarnya, maka bhikkhu terssebut telah melakukan parajika.
b) Seorang bhikkhu tidak mengatakan pada seseorang atau kepada orang banyak, tetapi diantara mereka ada yang mengerti apa yang dikatakannys, maka bhikkhu tersebut telah melakukan parajika.
c) Apabila seorang pendengar tidak mengerti apa yang dikatakan oleh bhikkhu tersebut diatas, karena bahasa yang berbeda, maka bhikkhu tersebut telah melakukan thullaccaya.
Bhikkhu yang telah melanggar salah satu dari empat parajika, ia tidak berhak lagi hidup sebagai bhikkhu. Apatti ini adalah kesalahan yang tidak dapat diperbaiki (atekiccha), ia telah memotong akar kebhikkhuannya (mulaccheda).
B. SANGHADISESA (Vinaya 111. 10 sq)
Sanghadisesa berarti sangha berfungsi sebagai penentuan kesalahan dan memerintahkan bhikkhu yang bersalah menjalankan penebusan kesalahan (manatta) dan masa percobaan (parivasa). Setelah itu Sangha membebaskannya dari apatti. Sanghadisesa adalah juga nama untuk sikkhapada yang jika dilanggar menyebabkan apatti.
Dalam sila patimokkha, sanghadisesa adalah nama untuk 13 sikkhapada. Uraian terinci didapat dalam Vinaya Pitaka III, halaman 110 dan seterusnya terdiri dari :
1. Apabila seorang bhikkhu mengeluarkan air mani dengan sengaja kecuali dalam mimpi, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
2. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu menyentuh tubuh atau memegang tangan, rambut, atau menyentuh anggota tubuh seorang wanita, maka ia melanggar kayasamsagga sanghadisesa.
3. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu berbicara pada seorang wanita dengan kata-kata mengandung nafsu seperti yang dikatakan oleh seorang pemuda kepada seorang gadis untuk mengadakan hubungan kelamin, maka itu melanggar peraturan sanghadisesa.
4. Apabila seorang bhikkhu dengan pikiran menyeleweng karena nafsu berbicara dihadapan seorang wanita untuk memuaskan nafsunya dan mengajak mengadakan hubungan kelamin, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
5. Apabila seorang bhikkhu bertindak sebagai perantara untuk menyampaikan maksud seorang pria kepada seorang wanita atau sebaliknya, baik mengenai perkawinan atau diluar perkawinan, maka ia melanggar peraturan sancaritta sanghadisesa.
6. Apabila seorang bhikkhu mendirikan pondok (kuti) atas kemauannya sendiri tanpa (orang awam) pemilik (yang membuatkan atau memberikannya) yang diperuntukkan untuk dirinya sendiri, maka ia harus membuatnya sesuai ukuran yang telah ditentukan.
Ukurannya adalah : panjang 12 span dan sugata, lebar 7 span dari sugata dan sebelah dalam. Para bhikkhu harus berkumpul untuk menunjukkan letaknya (pondok/kuti) dan menunjukkan tempat yang tidak dipergunakan dengan batas daerah yang mengelilinginya. Apabila tidak demikian, maka ia melanggar peraturan Sanghadisesa.
7. Apabila seorang bhikkhu membuat tempat tinggal dengan (orang awam) pemilik (yang membuat dan memberikannya) dan diperuntukan untuk dirinya sendiri, para bhikkhu harus berkumpul untuk menunjukkan letaknya dan menunjukkan daerah yang tidak dipergunakan dengan batas daerah yang mengelilinginya. Apabila tidak demikian, maka ia melanggar peraturan Sanghadisesa.
8. Apabila seorang bhikkhu karena marah ingin melampiaskan amarahnya dan merasa tidak senang, menuduh bhikkhu lain melakukan pelanggaran parajika dengan niat “barangkali dengan demikian ia akan gugur dari kebikkhuan”, dan setelah itu pada kesempatan lain baik dperiksa atau tidak ternyata hal itu tidak beralasan dan bhikkhu itu marah, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
9. Apabila seorang bhikkhu karena marah ingin melampiaskan amarahnya dan merasa tidak senang, menuduh bhikkhu lain melakukan pelanggaran parajika, mempergunakan alasan-alasan yang dicari-cari untuk dihubungkan dengan pelanggaran lain, dengan niat :” Barangkali dengan demikian ia akan gugur dari kebhikkhuan”, dan setelah itu pada kesempatan lain baik diperiksa atau tidak ternyata hal tersebut berhubungan dengan pelanggaran lain, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
10. Apabila seorang bhikkhu mencoba menyebabkan perpecahan Sangha yang berada dalam keadaan akur dan damai, dan tetap berusaha untuk mencobanya sesudah dinasehati oleh bhikkhu-bhikkhu lain untuk tidak mencoba menyebabkan perpecahan Sangha yang berada dalam keadaan akur dan damai, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
11. Apabila bhikkhu-bhikkhu pengikut bhikkhu (nomor 10), misalnya satu, dua, tiga, yang membela dan berkata :”Janganlah sekali-kali bhante menasihati bhikkhu tersebut, karena bhikkhu tersebut adalah juru bicara Dhamma dan Vinaya, dan perkataannya sesuai dengan keinginan dan pilihan kami, ia mengetahui (pikiran kita), dan berbicara (untuk kita) dan itu adalah keinginan kita”. Bhikkhu –bhikkhu itu harus dinasehati oleh bhikkhu-bhikkhu lain untuk tidak berbuat demikian. Apabila setelah dinasihati tiga kali bhikkhu-bhikkhu itu tetap demikian, maka bhikkhu itu melanggar peraturan Sanghadisesa.
12. Seorang bhikkhu mungkin sukar untuk diberi nasihat dan bila diberi nasihat oleh bhikkhu-bhikkhu lain secara seharusnya mengenai peraturan latihan, bhikkhu itu membuat dirinya tidak mau menerima nasihat dengan berkata: “ Harap bhante tidak memberi nasihat kepada saya mengenai apa yang baik dan mengenai apa yang tidak baik, dan saya pun tidak akan memberi nasihat kepada bhante mengenai apa yang baik dan tidak baik. Harap bhante tidak memberi nasihat lagi kepada saya”.
Maka bhikkhu tersebut harus diberi nasihat oleh bhikkhu-bhikkhu lain sebagai berikut :” Harap bhante tidak membuat diri bhante tidak mau menerima nasihat, lebih baik bhante membuat diri bhante dapat menerima nasihat. Bhante dapat member nasihat kepada-kepada bhikkhu lain secara seharusnya, dan bhikkhu lain dapat member nasihat kepada bhante secara seharusnya, karena Dhamma akan berkembang dengan saling memberi nasihat dan dengan saling memperbaiki diri”. Apabila bhikkhu itu sudah tiga kali diberi nasihat tetap demikian, maka ia melanggar peraturan Sanghadisesa.
13. Apabila seorang bhikkhu menerima suap dan berkelakuan buruk yang hidupnya ditunjang oleh penduduk desa atau kota dan kedua sifat itu terlihat dan terdengar, maka bhikkhu itu harus diberi nasihat :” Bhante adalah penerima suap dan berkelakuan tidak baik. Kedua perbuatan tersebut telah terlihat dan terdengar. Harap bhante meninggalkan tempat (Vihara) ini.”
Apabila bhikkhu itu telah dinasihati sebanyak tiga kali tetap demikian, maka ia melanggar peraturan sanghadisesa.
RANGKUMAN
Bhikkhu yang melakukan parajika gugur kebhikkhuannya, meskipun tidak diketahui oleh orang lain.
Pelanggaran Sanghadisesa masih dapat diselesaikan dengan melakukan pengakuan di depan Sangha yang paling kurang terdiri dari 20 bhikkhu.
Parajika dan Sanghadisesa yang belum selesai dilakukan karena faktor-faktor bahwa telah terjadi apatti belum terpenuhi, kesalahan itu disebut Thulaccaya.
Hebat,membuat saya pintar!!WOW!!Amajing
BalasHapusnavigate to this site wigs online,costume wigs,hair pieces for women,hair pieces for women,human hair toppers,Lace Wigs,human hair wigs,human hair wigs,hair toppers see here now
BalasHapus